12 Pemikiran R.A Kartini
- alyatjokrosasmito
- Mar 25, 2015
- 7 min read
12 pemikiran brilian RA Kartini, yang bisa dianggap melampaui alam fikiran kaum perempuan di Indonesia pada waktu itu:
1. Tentang Ibu Pertiwi
“Dalam kebudayaan kita sering disebut-sebut Ibu Pertiwi. Bagi saya Ibu Pertiwi bukanlah suatu dewi. Tetapi apabila kita hendak melambangkan sumber kekuatan dari perlambang itu, marilah kita memandang sumber-sumber yang nyata, yang kongkrit, dalam diri beratus-ratus, beribu-ribu ibu, yang dengan penuh ketekunan mengasuh, menjaga, dan memungkinkan kita memberikan darma bakti kepada nusa dan bangsa, kepada tanah air yang kita cintai bersama.
Ibuku berlalu setelah melaksanakan sumbangsihnya sampai sudah lanjut umurnya. Berlalu dengan mewariskan kemesraan dan kecintaan. Berlalu dengan meninggalkan pesan.
Kita akan meninggalkan tempat ini mungkin dengan tambahan tekad untuk menghargai ibu-ibu yang masih dan yang akan melaksanakan panggilan hidupnya. Mudah-mudahan hal ini merupakan sumbangsih yang kecil dari keluarga kami untuk kekuatan, persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, yang sama-sama kita tegakkan dan sama-sama kita cintai.
Kami banggakan kesederhanaan Ibu, yang tetap berhasil menciptakan tazim kami dengan cara beliau sendiri, sehingga dengan keyakinan kami masing-masing yang beliau selalu hormati, kami mempunyai keleluasaan untuk berbakti. Inilah kekuatan dan kekayaan yang kiranya subur di tanah air kita yang sama-sama kita bina dan jaga.
Kesederhanaan saya tonjolkan, karena pesan yang dapat diambil ialah: Dengan kesempatan dan perlengkapan kita yang lebih banyak daripada yang dimiliki Ibu, maka diharapkan dari kita semua peningkatan dari apa yang dicapai oleh beliau.”
(R.A. Kartini)
2. Tentang peran perempuan sebagai pendidik
“Siapakah yang akan menyangkal bahwa wanita memegang peranan penting dalam hal pendidikan moral pada masyarakat. Dialah orang yang sangat tepat pada tempatnya. Ia dapat menyumbang banyak (atau boleh dikatakan terbanyak) untuk meninggikan taraf moral masyarakat. Alam sendirilah yang memberikan tugas itu padanya.
Sebagai seorang ibu, wanita merupakan pengajar dan pendidik yang pertama. Dalam pangkuannyalah seorang anak pertama-tama belajar merasa, berpikir dan berbicara, dan dalam banyak hal pendidikan pertama ini mempunyai arti yang besar bagi seluruh hidup anak…”
“Tangan ibulah yang dapat meletakkan dalam hati sanubari manusia unsur pertama kebaikan atau kejahatan, yang nantinya akan sangat berarti dan berpengaruh pada kehidupan selanjutnya. Tidak begitu saja dikatakan bahwa kebaikan ataupun kejahatan itu diminum bersama susu ibu. Dan bagaimanakah ibu Jawa dapat mendidik anak kalau ia sendiri tidak berpendidikan?”
“Hanya sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat. Lingkungan keluarga (orang tua) harus membantu juga. Malahan lebih-lebih dari lingkungan keluargalah yang seharusnya datang kekuatan mendidik. Ingatlah! Keluarga (orang tua) dapat memberikan pengaruhnya siang-malam, sedang sekolah hanya beberapa jam saja…”
“Binalah mereka (putri2 bangsawan) menjadi ibu-ibu yang pandai, cakap dan sopan. Mereka akan giat menyebarkan kebudayaan di kalangan rakyat. Sadar akan panggilan moral dalam masyarakat mereka akan menjadi ibu-ibu yang penuh kasih sayang, pendidik yang baik dan berguna bagi masyarakat yang memerlukan bantuan dalam segala bidang.”
(Berikanlah Pendidikan Kepada Bangsa Jawa [baca: Indonesia]: Nota RA Kartini tahun 1903 yang dipublikasikan melalui berbagai surat kabar).
3. Tentang emansipasi
Ya, kata emansipasi sudah menjadi tren pada era Kartini! Sebagaimana ia menuliskannya sendiri dalam suratnya berikut ini:
“Akan datang juga kiranya keadaan baru dalam dunia bumiputra, kalau bukan oleh karena kami, tentu oleh orang lain, kemerdekaan perempuan telah terbayang-bayang di udara, sudah ditakdirkan…”
(Surat R.A. Kartini kepada temannya Zeehandelaar, 9 Januari 1901)
“Bukan hanya suara dari luar saja, suara yang datang dari Eropah yang beradab, yang hidup kembali itu, yang datang masuk ke dalam hati saya, yang jadi sebab saya ingin supaya keadaan yang sekarang ini berubah.
Pada masa saya masih kanak-kanak, ketika kata EMANSIPATIE belum ada bunyinya, belum ada artinya bagi telinga saya, serta karangan dan kitab tentang pasal itu masih jauh dari jangkauan saya, telah hidup dalam hati saya suatu keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri.
Keadaan sekeliling saya memilukan hati, menerbitkan air mata karena sedih yang tidak terkatakan, keadaan itulah yang membangunkan keinginan hati saya itu. Dan karena suara yang datang dari luar yang tiada putus-putusnya sampai kepada saya, keras makin keras jua, maka bibit yang ada dalam hati saya, yaitu perasaan yang merasakan duka nestapa orang lain yang amat saya kasihi, tumbuhlah, sampai berurat berakar, hidup subur serta dengan rindangnya.”
(Surat R.A. Kartini kepada temannya Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
4. Tentang pergolakan batin dan semangat
“Siapa yang melihat atau menduga dahsyatnya pergolakan yang menggelora dalam batin gadis remaja ini? Tidak ada seorangpun yang dapat menduganya. Ia menderita seorang diri.
Tidak ada orang tua atau saudara yang menduga apa yang bergolak dalam hatinya, dan memberi simpatinya kepadanya. Dimanakah ia akan dapat meletakkan kepalanya yang capek ini dan melepaskan tangis kesedihannya?
Memang suatu pekerjaan yang seolah-olah tak mungkin dapat dikerjakan! Tetapi siapa tidak berani, takkan menang! Itulah semboyanku. Maka ayo maju! Bertekad saja untuk mencoba semua! Siapa nekad, mendapat tiga perempat dari dunia!”
5. Tentang para pelopor zaman
“Pada jaman manapun dan dalam bidang apapun, kaum pelopor selalu mengalami rintangan-rintangan hebat. Itu kami sudah tahu. Tetapi betapa nikmatnya memiliki suatu cita-cita. Suatu panggilan.
Katakanlah kami ini orang-orang gila… Atau apa saja… Tetapi kami tidak dapat berbuat lain. Kami tidak berhak untuk tinggal bodoh, bagaikan orang-orang yang tidak berarti. Keningratan membawa kewajiban.”
(Kartini, awal 1900)
6. Tentang cita-cita menjadi guru
“Karena saya yakin sedalam-dalamnya bahwa wanita dapat memberi pengaruh besar kepada masyarakat, maka tidak ada yang lebih saya inginkan daripada menjadi guru, supaya kelak dapat mendidik gadis-gadis dari para pejabat tinggi kita.
O, saya ingin sekali menuntun anak-anak itu, membentuk watak mereka, mengembangkan pikiran mereka yang muda, membina mereka menjadi wanita-wanita masa depan, supaya mereka kelak dapat meneruskan segala yang baik itu. Masyarakat kita pasti bahagia kalau wanita-wanitanya mendapat pendidikan yang baik…
Di dunia wanita kita terdapat banyak derita yang pedih. Penderitaan yang telah saya saksikan waktu saya masih kanak-kanak itulah yang membangkitkan keinginan saya membawa arus yang tidak mau membenarkan saja keadaan-keadaan yang kolot.”
(Kartini, 1901)
7. Tentang ningrat dan kebangsawanan
“Sebelum kau menanyakan, aku tidak pernah memikirkan bahwa aku, seperti katamu, adalah keturunan ningrat tinggi. Apakah aku seorang putri raja? Bukan. Raja terakhir yang menurunkan kami, mungkin sudah 25 turunan yang lalu.
Ibuku masih berhubungan dekat dengan raja-raja Madura. Buyut beliau masih memerintah sebagai raja dan neneknya adalah puteri yang berhak menggantikan raja. Bagiku hanya ada dua jenis kebangsawanan: kebangsawanan jiwa (akal) dan kebangsawanan budi (perasaan).
Menurut perasaanku tidak ada yang lebih gila dan menggelikan daripada orang-orang yang membanggakan keturunannya. apakah sebenarnya jasanya dilahirkan sebagai seorang bangsawan? Dengan otakku yang kecil ini aku tidak dapat menangkapnya…”
“Apa gunanya kaum ningrat yang dijunjung tinggi itu bagi rakyat, kalau mereka dipergunakan oleh Pemerintah untuk memerintah rakyat? Sampai sekarang tidak ada, atau sangat sedikit, yang menguntungkan bagi rakyat. Lebih banyak merugikan – kalau kaum ningrat menyalahgunakan kekuasaannya.
Ini tidak jarang terjadi. Keadaan demikian itu harus berubah. Kaum ningrat harus pantas untuk bisa dijadikan pujaan rakyat; sehingga akan banyak mafaatnya untuk rakyat. Pemerintah harus membawa kaum ningrat ke arah itu. Dan satu-satunya jalan ialah memberi PENDIDIKAN yang mantap, yang tidak semata-mata didasarkan pada pengembangan intelektuil, melainkan terutama pada pembinaan watak…
Banyak sekali contoh yang membuktikan bahwa tingkat kecerdasan otak yang tinggi sama sekali bukan jaminan akan adanya keagungan moral.”
8. Tentang kepedulian Kartini terhadap rakyatnya
“Tak setetes pun hujan turun dalam tiga minggu ini. Panasnya luar biasa terik. Kami tak pernah mengalami sepanas ini. Bahkan tidak pada musim kemarau yang terkering pun.
Ayah sampai putus asa. Bibit pada di sawah telah menyoklat. O, kasihan! Kasihan rakyatku! Selama ini rakyat di daerah kami selalu kecukupan pangan sehingga mereka tidak pernah mengenal adanya bencana kelaparan. Akan tetapi apa yang belum terjadi bisa saja terjadi.
Seperti pada kekeringan di musim hujan ini yang sudah merupakan pertanda buruk. Apa yang akan terjadi kalau kekeringan dan panas yang terik ini berlangsung terus? Sejak beberapa hari ini tiap pagi betiup angin yang biasanya baru datang di bulan Mei. Pancaroba-kah ini? Atau musim kemarau telah bermula?
Ngeri! Kami semua tak berdaya. Betapa sedihnya melihat bibit yang ditanam menyoklat dan layu. Dan kami tak dapat berbuat apa-apa. Manusia tak bisa membuat air.
Kirimkan pada kami dingin dari negerimu. Nyonya boleh mengambil panas dari sini seberapa Nyonya mau.”
(Surat Kartini kepada Nyonya Nellie van Kool)
“Karena musim panas yang berkepanjangan ini, hampir seluruh panen gagal di daerah ini. Daerah sekitar Grobogan paling menderita di mana bencana kelaparan mulai merajalela. Di Demak, di mana 26 ribu bahu sawah gagal dipanen, serangan kolera telah pula mengganas. Sementara orang-orang dengan cemas menunggu datangnya musim hujan yang akan membanjiri daerah ini. Sungguh tanah yang malang! Pada musim kemarau ia gersang dan pada musim hujan ia kebanjiran.”
(Surat Kartini kepada Stella)
9. Tentang kecintaan Kartini menjadi bagian dari rakyatnya
“Untuk pertama kali namaku disebut di muka umum bersama rakyatku. Di situlah tempat namaku seterusnya. Aku bangga Stella, bahwa namaku disebut senafas dengan rakyatku!”

Foto Kotak kayu dan lukisan angsa milik RA Kartini saat masih di Jepara
10. Tentang kesadarannya akan adanya Tuhan
“… Banyak sekali kejadian pada waktu akhir-akhir ini menunjukkan bahwa manusia hanya menimbang-nimbang. Tuhanlah yang akhirnya menetapkan. Semua itu merupakan peringatan kepada kita semua yang berpandangan picik supaya kita jangan sombong: jangan mengira bahwa kita mempunyai ‘kemauan sendiri’. ada suatu Kekuasaan yang lebih tinggi dan lebih besar daripada semua kekuasaan di dunia.
Ada kemauan yang lebih kuat dan lebih kuasa daipada semua kemauan manusia dijadikan satu. Celakalah orang yang membusungkan dadanya dan mengira bahwa kemauannya adalah sekuat baja! Hanya ada satu kemauan yang boleh dan harus kita miliki, yaitu kemauan untuk mengabdi kepada Kebaikan!…
Sekarang kami memegang erat tangan Dia. Dia-lah yang mengarahkan kami, menilai dengan penuh kasih sayang… Di situ GELAP MENJADI TERANG, taufan menjadi angin tenang. Sebetulnya semua di sekitar kami masih sama saja, tetapi bagi kami telah tidak sama lagi.
Telah terjadi perubahan dai dalam kami yang menyinari segala-galanya dengan cahaya-Nya. Kami merasa tenang dan damai dalam jiwa kami… Kami selalu memohon agar diberi kekuatan untuk memikul baik duka maupun suka. Terutama dalam suka, sebab dalam bersuka ria terdapat godaan… Kami tak dapat mengatakan betapa besar terima kasih kami bahwa kami telah berkenalan dengan Nyonya van Kol…
… Tahukah kau siapa yang membuka tabir di muka mata kami? Ialah: Nellie van Kol. Tetapi yang sekarg menuntun kami untuk menemukan Tuhan ialah Ibu. Sungguh bodoh kami ini. Sepanjang hidup kami memiliki mutiara segunung di samping kami, tetapi kami tidak melihatnya, tidak mengetahuinya.
Sungguh, betul-betul bodoh dan sok tahu kami ini. Dan kau sekarang tak dapat membayangkan betapa bahagia Ibu dan para sesepuh lainnya, melihat perubahaan hidup kejiwaan kami. Tak satu kata celaan keluar dari mulut mereka. Hanya: ‘Tuhan baru sekarang berkenan membuka hati kalian. Bersyukurlah!’”.
(Surat Kartini kepada anak Abendanon)
11. Tentang kebanggaan Kartini terhadap kerajinan dan kesenian rakyatnya
12. Tentang angan-angan Kartini
“… Semoga melalui banyak sekali penderitaan dan kesedihan, kami berhasil menciptakan sesuatu. Bagi rakyat kami. Terutama yang bermanfaat bagi kaum wanita kami – bagaimanapun kecilnya.
Andaikata ini pun tidak terlaksana, semoga penderitaan dan perjuangan kami berhasil menarik perhatian khalayak ramai terhadap keadaan-keadaan yang perlu diperbaiki.
Dan andaikata itu pun tidak dapat kami capai, wahai, setidaknya kami telah berusaha berbuat baik, dan kami yakin benar bahwa air mata kami, yang kini nampaknya mengalir sia-sia itu, akan ikut menumbuhkan benih yang kelak akan mekar menjadi bunga-bunga yang akan menyehatkan generasi-generasi mendatang.”
Itulah 12 pemikiran RA Kartini, sebagai disebutkan dalam buku ”Door Duisternis Tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang), yang bisa dianggap melampaui zamannya.

Comments